Apakah Anda Mampu ‘Menikah’??

Selama jutaan tahun mungkin lebih, orang percaya sekali bahwa pernikahan bukan cuma ‘media’ bertemunya sepasang insan dalam ikatan cinta. Juga bukan cuma cara alamiah bagi sepasang manusia untuk melanjutkan keturunan. Tapi pernikahan juga dilihat sebagai bagian dari ritual kehidupan yang sakral dan indah. Di belahan dunia manapun, dalam tradisi Agama dan budaya apapun, yang namanya pernikahan selalu dipandang demikian, sakral dan indah. Para antropolog mengarakterkan pesta pernikahan sebagai ritualitas bagi transisi kehidupan manusia (rites of passage). Ritual ini terjadi sewaktu seseorang melewati batas usia atau status sosial. Tidak aneh kalau pernikahan selalu dirayakan dengan ritual khas yang menggambarkan keagungan dan kesakralannya.


Di Austria, pada abad ke-16 M, pesta pernikahan hanya boleh dihadiri tidak lebih dari 20 orang agar perayaan berjalan khidmat. Dalam kepercayaan Hindu, pernikahan dirayakan dengan meletakkan mempelai pria dan wanita di tengah lingkaran api pengorbanan untuk memberkati kesuburan pasangan tersebut. Terus, keluarga dan undangan berpesta dan menari untuk menunjukkan restu bagi kedua mempelai. Dalam Katolik Romawi, ritual pernikahan melibatkan sejumlah iringan pengantin, sementara itu ayat-ayat dalam Bibel yang membahas pernikahan dibacakan. Pernikahan ini disahkan seorang pendeta dan paling sedikit dua orang saksi. Sedangkan kalangan Protestan memasukkan janji pernikahan untuk selalu cinta dan bergembira baik dalam keadaan susah maupun senang, kaya dan miskin, sakit dan sehat hingga maut memisahkan. Pendeta kemudian menanyakan hal itu kepada pengantin wanita dan pria untuk menepati janji itu dan mereka menjawab, “I do” – Saya bersedia !.

Dalam kepercayaan Yahudi Ortodoks, pasangan yang akan menikah berdiri di bawah sebuah chuppah -tirai- yang menyimbolkan rumah kedua mempelai yang akan dibangun. Kemudian, mempelai pria merayakkannya dengan membanting segelas anggur. Banyak peneliti yang percaya bahwa ritual ini untuk memperingati penghancuran kuil Yahudi yang pertama (Kuil Sulaiman di Yerusalem) oleh bangsa Babilonia pada tahun 586 SM. Sementara itu, Gereja Yunani Ortodoks merayakan pesta pernikahan dengan cara meletakkan mahkota yang diikat dengan pita -biasanya dilakukan oleh orang terbaik menurut mereka- ke atas kepala mempelai pria dan wanita, sebagai tanda restu Tuhan atas pernikahan mereka.

Dalam sudut pandang Islam, pernikahan terjadi melalui prosesi akad nikah yang disebut ijab-kabul yang dilakukan oleh calon pengantin pria dan wali mempelai wanita dengan dihadiri dua orang saksi, disertai pemberian mahar dari mempelai pria kepada mempelai wanita. Akad nikah dalam Al-Qur’an disebut sebagai mitsaq ghalizh (perjanjian yang kukuh). Tidak main-main, ucapan ini setara dengan perjanjian Nabi dan Rasul kepada Allah SWT.

Demikianlah prosesi pernikahan tersebut menjadi ritual yang sangat disakralkan, tapi seiring perjalanan waktu kesakralan pernikahan tersebut mulai digugat. Hubungan suami-istri sering dianggap tidak adil dan dianggap terlalu berpihak kepada suami. Kata para penggugatnya, wanita lebih sering menempati posisi subordinat dari pada pria. Wanita hampir selalu dituntut untuk melayani ‘kelelakian’ suami dan keluarga. Tidak ada ruang lagi untuk melakukan proses aktualisasi setelah menikah. Orang sering bilang, perempuan yang sudah married urusannya cuma: sumur-dapur-kasur. Kalau tidak ngurus bersih-bersih, ya masak atau menjadi ‘budak nafsu’ suami.

Kondisi ini -dalam versi para penggugat pernikahan- dilegalkan oleh doktrin Agama yang mengekalkan budaya patriarki. Memuja pria. Menurut mereka, kepatuhan istri kepada suami oleh Agama dijadikan sebagai harga mati yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Pembangkangan merupakan tindakan tercela, bahkan terlaknat.

Friederich Engels dalam bukunya Origins of Family, Private Property and The State (1884), menuliskan bahwa inti keluarga yang hanya berdasarkan paham kepemilikan pribadi tidak lain adalah media penindasan istri -wanita- yang paling parah. Hubungan suami-istri oleh Engels di-analogi-kan sebagai hubungan antar-kelas kapitalis dan proletar. Sedangkan pemikir sosialis lain, Collins, mengibaratkan kaum suami sebagai kaum borjuis dan kaum istri sebagai proletar yang tertindas, baik dalam kaitan fungsi ekonomi, seksual, maupun pembagian tugas dalam keluarga. (Megawangi, 1999: 85). Lebih parah lagi, Engels menuliskan bahwa pernikahan itu sendiri tidak lebih merupakan bentuk pelacuran yang diakui menurut undang-undang, pernikahan hanyalah sebuah jubah resmi untuk pelacuran.

Pernikahan, menurut sebagian orang merupakan pilihan pahit buat kamu wanita, seperti Luce Irigaray seorang feminis Perancis dalam essainya berjudul The Sex Which is not One menyebutkan perkawinan sebagai wujud nilai yang mereduksi hasrat seksual hanya pada suatu bentuk kenikmatan lain yang ada pada diri kaum perempuan itu sendiri.

Para demonstrator feminis lainnya mendramatisir pernikahan dengan nada kegetiran. Mereka katakan bahwa tidak ada pilihan seksualitas lain bagi wanita kecuali dengan menikah (dengan pria), mempersembahkan keperawanan kepada suami di malam pertama; patuh pada praktik poligami; tabu buat men-jomblo; haram menjadi lesbian atau berprilaku biseksual, sadomasokis dan segala bentuk orientasi seksual lain yang dikonotasikan sepihak dan divonis menyimpang oleh mayarakat. Merekapun pasrah dan mengafirmasi nasib seksualnya tanpa pernah berani mempersoalkan meski harus menanggung rasa sakit, baik fisik maupun psikis sepanjang perjalanan pernikahannya bahkan mungkin selama hidupnya.

Paradigma yang menyesatkan ini tak urung mengusik ruang pemikiran. Sebuah tantangan yang tak cuma perlu diklarifikasi dalam ruang edikarsus, tapi juga dalam potret rumah tangga sesungguhnya.

Kenyataan di beberapa negara mengalami penurunan angka pernikahan yang diikuti dengan meningkatnya persentase keterlambatan usia nikah. Sebutlah Amerika, negara ini merupakan negara industri yang memiliki angka pernikahan tertinggi sekaligus angka perceraian tertinggi di dunia. Sementara itu di negara-negara Eropa Utara, institusi keluarga juga mengalami keruntuhan. Setengah dari perkawinan di Swedia dan Norwegia berakhir dengan perceraian dan jumlah orang tua yang tidak menikah lagi karena sudah bercerai lebih dari dua kali lebih banyak daripada jumlah orang tua tunggal. Kemudian di Nepal jumlah perceraian juga meningkat hingga 70% dan banyak dilakukan pasangan dari latar pendidikan yang tinggi. Tak terlepas di Indonesia, paradigma peningkatan angka perceraian ini juga terjadi. Tak mengherankan bila budayawan Goenawan Muhammad mengatakan bahwa kesakralan pernikahan itu bak cawan porselen, indah dan mudah pecah.

Sederetan fakta yang dikupas mengabarkan bahwa pernikahan bukan hanya bisa sebagai media pemberi kebahagiaan, tapi sekaligus juga bisa menjadi biang persoalan dan kesengsaraan; perceraian, pengkhianatan, kekerasan dalam rumah tangga, ketergantungan wanita kepada para suami, broken home, nafkah yang tidak layak dan sebagainya. Pernikahan tidak lagi bisa dimetaforakan sebagai jaminan untuk mendapatkan kebahagiaan.

Perubahan orientasi yang disebabkan oleh proses dinamika budaya melahirkan sederet alasan yang melahirkan rasa apatis dan antipati terhadap ritual pernikahan. Sejumlah potret buram rumah tangga dan pernikahan menyebabkan timbulnya stigma super negatif tentang pernikahan. Pernikahan tidak lagi menjadi pilihan ditengah maraknya dinamika budaya yang melahirkan berbagai bentuk solusi-solusi parsial sebagai pengganti pernikahan. Solusi-solusi parsial ini bukan saja menghancurkan tapi sekaligus menenggelamkan manusia kedalam masalah yang jauh lebih rumit. Kelicikan dan kepicikan pemahaman terhadap ayat-ayat Agama serta hilangnya fungsi negara dan masyarakat sebagai pelindung dan pengayom nilai-nilai budaya juga semakin memperparah keadaan. Institusi dan risalah pernikahan yang dulu disakralkan, dipuja-puja saat ini mulai dikoyak-koyak. Kepercayaan pada lembaga pernikahan lambat laun mulai memudar. Keperawanan dan keperjakaan yang dulu hanya dipersembahkan di malam pertama -dan dianggap sebagai sesuatu yang khusus bahkan sakral- kini bisa diberikan kapan saja, bahkan diperjual-belikan layaknya barang dagangan.

Demikianlah sepenggal kenyataan, dengan memohon beribu maaf dan tanpa mengurangi rasa hormat bagaimana ritual pernikahan telah di-manipulasi dan di-kambinghitam-kan, karena diakui atau tidak akar dari permasalahan yang mendera kesakralan ritualitas pernikahan adalah ekses dari ketidakmampuan dan minimnya kualitas para pelaku pernikahan. Alasan yang mendasari terjadinya proses pernikahan tidak lagi ‘se-ber-harga’ dahulu. Evolusi budaya memang membawa kita ke tahap yang di-anggap maju -identik dengan kemudahan dan budaya instan-, tanpa pernah mencoba memahami ke arah mana sebenarnya melangkah. Politisasi -ketidakjujuran- dan komersialisasi yang memenuhi rutinitas budaya kekinian, mengalir dalam relung-relung nurani modernitas menyebabkan pernikahan tidak lagi jujur dan murni didasari oleh rasa ‘cinta’ dan ‘kasih’. Dan pertanyaan penutup yang hanya pantas ditujukan kepada pribadi calon pelaku ritual pernikahan sebagai refleksi dari proses evaluasi adalah; Apakah Anda mampu ‘menikah’?. Apakah Anda Mampu ‘Menikah’?