8 tahun telah berlalu, kini kutemui diriku termangu pada kenangan masa lalu bersama Sabri sahabat terbaikku. Dialah sahabat yang dulu dikampus bersama diriku menerobos matahari, berteriak meminta harga-harga diturunkan. Aku merindukanmu, kangen pada secangkir kopi miskin gula, dan setengah bungkus rokok yang patungan kami beli bersama. Keterbatasan kami, adalah kebahagiaan saat kekurangan itu kami bumbui tawa renyah mengejek kemelaratan.
Adalah karena kita pejantan, maka kumbang harus mengikuti dimana bunga bisa mekar bertumbuh. Engkau pergi dan akupun harus demikian. Perempuan bersahaja, manis dan manja yang engkau kenalkan padaku saat itu, kini telah menjadi ibu anak-anakku. Aikha, kekasihku juga telah kupersunting dengan uang mahar yang lumayan tinggi. Alhamdulillah, sawah lima petak, sapi enam ekor dan penghasilan sawah warisanku selama dua musim, kini telah berpindah tangan untuk mempersunting belahan jiwaku. Tinggallah kini diriku harus membeli beras, karena sawah tak lagi jadi milikku. Aku dendam dengan tingginya mahar, walau aku tahu itu bahagian dari tradisi suku di kampungku. Alasannya klise, untuk mengangkat harkat keluarga.
Aku menertawai diri-ku yang memalukan ini. Kata seorang bijak, ketika kita sudah menertawai tentang kita dimasa lalu, maka itu bertanda kedewasaan. Uang Mahar atau uang belanja pernikahan, yang dalam bahasa Makassar disebut uang panai, memang selalu menjadi kendala bagi pemuda lajang yang hendak merencanakan pernikahan di komunitas suku dimana diriku menemukan identitas. Entah, ini hasil penelitian atau bukan, muasal banyaknya lelaki perantau dimasa lalu, keluar dari wilayah bermukimnya salah satunya penyebabnya karena tingginya mahar. Gagal menikah adalah malu bagi lelaki Bugis-Makassar. Malu yang tak tertahankan hanya bisa dibayar dengan kematian atau merantau.
Lebih parah lagi, semakin tinggi status sosial dan ekonomi perempuan tersebut juga maharnya akan melonjak pula. Maaf, harga mahar di pasaran, saat ini bisa menembus angka 50 sampai 100 juta, bahkan jauh lebih dari itu, jikalau orang tua si perempuan adalah seorang pejabat atau pengusaha. Kawanku, yang dulu bersamaku mengejek kemiskinan di kamar kos kami, punya strategi lihai mengelabui ayah calon istrinya.
Layla istrinya yang kini ia telah persunting, adalah seorang Pegawai Negeri Sipil ketika itu. Sahabatku, yang baru saja menyelesaikan gelar sarjananya, masih berstatus sebagai pendaftar PNS yang sudah dua kali tidak lulus alias pengangguran, tetapi tetap bergaya jumawa untuk menipu si Ayah gadis yang dicintainya. Lamaran sudah dilaksanakan, tawar menawar harga telah disepakati. Dari harga 45 Juta Rupiah berhasil di tawar 40 juta, plus satu ekor sapi, sebidang sawah dan 200 Kg beras.
Keluarga Sabri sahabatku itu, yang hanya seorang pesiunan penjaga mercusuar, sebenarnya tak mampu memenuhi mahar sebanyak itu. Sabri yang kebelet kawin, tak hilang akal. Iapun melancarkan muslihat dengan meyakinkan keluarganya bahwa bulan depan Ia akan mendapatkan proyek dengan laba, senilai lebih dari harga mahar itu. Karena lamaran adalah persoalan harga diri, maka pesta walimah pun disepakati waktunya, yakni tiga bulan setelah lamaran itu disepakati. Dan proyek yang dijanjikan itu, tidak lebih hanya bualan belaka.
Dua bulan sebelum acara, Sabri datang kepadaku untuk memohon ijin bunuh diri kalau aku tidak membantunya mencarikan uang mahar buatnya, yang sampai saat ketika itu belum sepeserpun ia dapatkan. Bahkan saking melaratnya, ia memintaku membelikannya rokok, sebaga obat sementara karena depresi yang membatu. Ditodong seperti itu, aku tak mampu berbuat apa-apa. Selama ini saya dan Sabri hanyalah penertawa kemiskinan dan pengarang puisi tentang penderitaan. Lha, kok tiba-tiba dia datang memelas memintaku untuk segera kaya mendadak dan meminjaminya uang 40 Juta. Mustahil Bin Ajaib, kataku ketika itu. Tak ada solusi yang aku berikan kecuali motivasi untuk berjuang, dan berjanji untuk mendoakan nya, serta memohonnya agar ia tidak mati dengan cara bunuh diri. Bunuh diri adalah kematian yang tidak keren menurutku.
Seminggu kemudian, ia kembali datang kepadaku, dengan muka yang tidak lagi sekusam seperti minggu lalu. Mungkin ada harapan. Dalam batinku menebak, entah bank apa yang habis dirampok sahabatku ini. Walau mukanya tidak memelas lagi, tapi tetap nampak ketegangan di dirinya. Jangan-jangan, Ia datang sebagai buronan.
“Gimana Sab, doa ku terkabul kan?”.., kataku bercanda berusaha menghilangkan ketegangannya. Sabri hanya diam, kemudian bertanya balik kepadaku.
“Apakah bisa, seorang perempuan memberi mahar untuk dirinya sendiri?”
“Maksudmu”
“Layla-kan seorang PNS. Gajinya sudah cukup untuk mengusul kredit”
“Maksudmu, kredit PNS Layla engkau akan jadikan uang mahar untuk dirinya?”
“Iya”
Diam-diam aku mengakui kecerdasannya dalam bermuslihat. Memanipulasi adat dengan kecerdasannya sebagai sarjana pengangguran. “He, bisa tidak. Kenapa bengong!” Sabri menghardikku, karena merasa tidak direspon. Saya mengiyakan dengan pelan, dan kemudian kami berdua tertawa lepas merayakan kemenangan. Solusinya ternyata mudah. Saya bertugas untuk membujuk Layla dalam satu pertemua rahasia, karena Sabri malu untuk melakukannya. Pada waktu yang ditentukan, saya mulai meyakinkan Layla.
“Sabri, lelaki yang begitu mencintaimu, akan pergi merantau kalau pernikahannya denganmu batal, hanya karena mahar, yang dia tidak mampu penuhi. Bahkan minggu lalu, dia datang kepadaku untuk menyatakan pamit karena dia ingin merantau atau bunuh diri saja. Aku melarangnya, karena turut merasa bahagia melihat kalian berdua bersanding di pelaminan”, kataku kepada Layla ketika itu. Layla, dengan nada khawatir meminta diriku untuk mencarikannya solusi. Nah, disinilah awal kesuksesan konsolidasi nurani ini.
“Layla, jikalau kau memang betul-betul mencintai Sabri. Maka engkau harus siap berkorban buatnya”
“Bagaimana caranya Kak”
“Apapun yang terjadi setelah kalian menikah nanti, akan menjadi urusanmu. Bukan urusan orang tua kalian. Persoalan ekonomi akan kalian tanggung sendiri”. Aku menambahkan, bahwa banyak yang sudah mengalami betapa setelah menikah itu, Allah sediakan rejeki sendiri. Allah SWT berfirman dalam Al Qur’an; “Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha luas lagi Maha mengetahui” (QS An-Nur: 32)
“Iya Kak. Aku tahu, tapi bagaimana cara membantunya”
“Saya sebenarnya malu menyampaikan hal ini, dan Sabri pun tidak tahu, karena sementara ini Ia masih pusing mencari pinjaman untuk mahar buatmu, tapi ia belum mendapatkannya, sementara waktu semakin mendesak. Aku yakin dia tidak akan mendapatkannya. Dan akan malu”
“Aku tahu Kak, Tolong berikan solusi. Saya sangat mencintainya. Apapun yang bisa aku lakukan buatnya….”. Nah, pada titik kulminasi ini. Saya mengatakan dengan pelan kepada Layla, bahwa Ia harus membantu Sabri dengan menggunakan SK PNS nya untuk mencairkan kredit di Bank. Aku harus mengatakan dengan hati-hati, seolah ini murni dari aku yang menawarkan solusi, tetapi sebenarnya aku hanyalah aktor yang disutradarai Sabri kekasihnya.
“Iya Kak, kalau itu yang harus saya lakukan. Besok, aku akan ke Bank, dan uangnya kuberikan kepada Kakak, untuk Sabri”
Dalam hati,aku kegirangan bukan kepalang. Berita gembira ini, aku sampaikan ke Sabri melalui telepon. Dibalik telepon Ia terdiam, Sabri menangis. Rasa girang ini pun berubah menjadi haru, termasuk diriku. Harga diri yang diukur dengan hitungan materil untuk mempersunting gadis yang dicintai, sungguh telah menghempaskan harga dirinya. Sabri sebagai lelaki dengan lingkungan suku yang mendagradasi nilai mahar dengan materi, merasa bahwa harga dirinya terinjak-injak dengan muslihatnya sendiri, hanya karena pernikahan yang katanya suci dan bahagian dari ibadah itu ternyata kalah oleh tradisi dengan mahar yang tinggi.
Permudahlah pernikahan dan persulitlah perceraian, itulah anjuran Nabi dalam haditsnya, yang hanya mensyaratkan seperangkat alat shalat sebagai mahar, yang harganya tidak lebih dari seratus ribu saat ini. Bahkan bisa dengan hanya sebentuk cincin dari besi ataupun sekedar hafalan Al Qur’an. Pernikahan adalah Ibadah dan pernikahan adalah menyempurnakan separuh agama, seolah dihempaskan jauh-jauh karena sebuah harga diri keluarga dan tradisi yang sedikit berbau komersil. Itu delapan tahun yang lalu, dan kini Sabri, Layla istrinya dan anak-anaknya telah bertumbuh sebagai keluarga yang sederhana. Sepuluh tahun waktu kreditnya, dua tahun lagi akan selesai. Ternyata sahabatku yang baik itu, belum melunasi cicilan pernikahannya. Kunikahi Engkau Dengan Mahar Muslihat – Andi Harianto
Adalah karena kita pejantan, maka kumbang harus mengikuti dimana bunga bisa mekar bertumbuh. Engkau pergi dan akupun harus demikian. Perempuan bersahaja, manis dan manja yang engkau kenalkan padaku saat itu, kini telah menjadi ibu anak-anakku. Aikha, kekasihku juga telah kupersunting dengan uang mahar yang lumayan tinggi. Alhamdulillah, sawah lima petak, sapi enam ekor dan penghasilan sawah warisanku selama dua musim, kini telah berpindah tangan untuk mempersunting belahan jiwaku. Tinggallah kini diriku harus membeli beras, karena sawah tak lagi jadi milikku. Aku dendam dengan tingginya mahar, walau aku tahu itu bahagian dari tradisi suku di kampungku. Alasannya klise, untuk mengangkat harkat keluarga.
Aku menertawai diri-ku yang memalukan ini. Kata seorang bijak, ketika kita sudah menertawai tentang kita dimasa lalu, maka itu bertanda kedewasaan. Uang Mahar atau uang belanja pernikahan, yang dalam bahasa Makassar disebut uang panai, memang selalu menjadi kendala bagi pemuda lajang yang hendak merencanakan pernikahan di komunitas suku dimana diriku menemukan identitas. Entah, ini hasil penelitian atau bukan, muasal banyaknya lelaki perantau dimasa lalu, keluar dari wilayah bermukimnya salah satunya penyebabnya karena tingginya mahar. Gagal menikah adalah malu bagi lelaki Bugis-Makassar. Malu yang tak tertahankan hanya bisa dibayar dengan kematian atau merantau.
Lebih parah lagi, semakin tinggi status sosial dan ekonomi perempuan tersebut juga maharnya akan melonjak pula. Maaf, harga mahar di pasaran, saat ini bisa menembus angka 50 sampai 100 juta, bahkan jauh lebih dari itu, jikalau orang tua si perempuan adalah seorang pejabat atau pengusaha. Kawanku, yang dulu bersamaku mengejek kemiskinan di kamar kos kami, punya strategi lihai mengelabui ayah calon istrinya.
Layla istrinya yang kini ia telah persunting, adalah seorang Pegawai Negeri Sipil ketika itu. Sahabatku, yang baru saja menyelesaikan gelar sarjananya, masih berstatus sebagai pendaftar PNS yang sudah dua kali tidak lulus alias pengangguran, tetapi tetap bergaya jumawa untuk menipu si Ayah gadis yang dicintainya. Lamaran sudah dilaksanakan, tawar menawar harga telah disepakati. Dari harga 45 Juta Rupiah berhasil di tawar 40 juta, plus satu ekor sapi, sebidang sawah dan 200 Kg beras.
Keluarga Sabri sahabatku itu, yang hanya seorang pesiunan penjaga mercusuar, sebenarnya tak mampu memenuhi mahar sebanyak itu. Sabri yang kebelet kawin, tak hilang akal. Iapun melancarkan muslihat dengan meyakinkan keluarganya bahwa bulan depan Ia akan mendapatkan proyek dengan laba, senilai lebih dari harga mahar itu. Karena lamaran adalah persoalan harga diri, maka pesta walimah pun disepakati waktunya, yakni tiga bulan setelah lamaran itu disepakati. Dan proyek yang dijanjikan itu, tidak lebih hanya bualan belaka.
Dua bulan sebelum acara, Sabri datang kepadaku untuk memohon ijin bunuh diri kalau aku tidak membantunya mencarikan uang mahar buatnya, yang sampai saat ketika itu belum sepeserpun ia dapatkan. Bahkan saking melaratnya, ia memintaku membelikannya rokok, sebaga obat sementara karena depresi yang membatu. Ditodong seperti itu, aku tak mampu berbuat apa-apa. Selama ini saya dan Sabri hanyalah penertawa kemiskinan dan pengarang puisi tentang penderitaan. Lha, kok tiba-tiba dia datang memelas memintaku untuk segera kaya mendadak dan meminjaminya uang 40 Juta. Mustahil Bin Ajaib, kataku ketika itu. Tak ada solusi yang aku berikan kecuali motivasi untuk berjuang, dan berjanji untuk mendoakan nya, serta memohonnya agar ia tidak mati dengan cara bunuh diri. Bunuh diri adalah kematian yang tidak keren menurutku.
Seminggu kemudian, ia kembali datang kepadaku, dengan muka yang tidak lagi sekusam seperti minggu lalu. Mungkin ada harapan. Dalam batinku menebak, entah bank apa yang habis dirampok sahabatku ini. Walau mukanya tidak memelas lagi, tapi tetap nampak ketegangan di dirinya. Jangan-jangan, Ia datang sebagai buronan.
“Gimana Sab, doa ku terkabul kan?”.., kataku bercanda berusaha menghilangkan ketegangannya. Sabri hanya diam, kemudian bertanya balik kepadaku.
“Apakah bisa, seorang perempuan memberi mahar untuk dirinya sendiri?”
“Maksudmu”
“Layla-kan seorang PNS. Gajinya sudah cukup untuk mengusul kredit”
“Maksudmu, kredit PNS Layla engkau akan jadikan uang mahar untuk dirinya?”
“Iya”
Diam-diam aku mengakui kecerdasannya dalam bermuslihat. Memanipulasi adat dengan kecerdasannya sebagai sarjana pengangguran. “He, bisa tidak. Kenapa bengong!” Sabri menghardikku, karena merasa tidak direspon. Saya mengiyakan dengan pelan, dan kemudian kami berdua tertawa lepas merayakan kemenangan. Solusinya ternyata mudah. Saya bertugas untuk membujuk Layla dalam satu pertemua rahasia, karena Sabri malu untuk melakukannya. Pada waktu yang ditentukan, saya mulai meyakinkan Layla.
“Sabri, lelaki yang begitu mencintaimu, akan pergi merantau kalau pernikahannya denganmu batal, hanya karena mahar, yang dia tidak mampu penuhi. Bahkan minggu lalu, dia datang kepadaku untuk menyatakan pamit karena dia ingin merantau atau bunuh diri saja. Aku melarangnya, karena turut merasa bahagia melihat kalian berdua bersanding di pelaminan”, kataku kepada Layla ketika itu. Layla, dengan nada khawatir meminta diriku untuk mencarikannya solusi. Nah, disinilah awal kesuksesan konsolidasi nurani ini.
“Layla, jikalau kau memang betul-betul mencintai Sabri. Maka engkau harus siap berkorban buatnya”
“Bagaimana caranya Kak”
“Apapun yang terjadi setelah kalian menikah nanti, akan menjadi urusanmu. Bukan urusan orang tua kalian. Persoalan ekonomi akan kalian tanggung sendiri”. Aku menambahkan, bahwa banyak yang sudah mengalami betapa setelah menikah itu, Allah sediakan rejeki sendiri. Allah SWT berfirman dalam Al Qur’an; “Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha luas lagi Maha mengetahui” (QS An-Nur: 32)
“Iya Kak. Aku tahu, tapi bagaimana cara membantunya”
“Saya sebenarnya malu menyampaikan hal ini, dan Sabri pun tidak tahu, karena sementara ini Ia masih pusing mencari pinjaman untuk mahar buatmu, tapi ia belum mendapatkannya, sementara waktu semakin mendesak. Aku yakin dia tidak akan mendapatkannya. Dan akan malu”
“Aku tahu Kak, Tolong berikan solusi. Saya sangat mencintainya. Apapun yang bisa aku lakukan buatnya….”. Nah, pada titik kulminasi ini. Saya mengatakan dengan pelan kepada Layla, bahwa Ia harus membantu Sabri dengan menggunakan SK PNS nya untuk mencairkan kredit di Bank. Aku harus mengatakan dengan hati-hati, seolah ini murni dari aku yang menawarkan solusi, tetapi sebenarnya aku hanyalah aktor yang disutradarai Sabri kekasihnya.
“Iya Kak, kalau itu yang harus saya lakukan. Besok, aku akan ke Bank, dan uangnya kuberikan kepada Kakak, untuk Sabri”
Dalam hati,aku kegirangan bukan kepalang. Berita gembira ini, aku sampaikan ke Sabri melalui telepon. Dibalik telepon Ia terdiam, Sabri menangis. Rasa girang ini pun berubah menjadi haru, termasuk diriku. Harga diri yang diukur dengan hitungan materil untuk mempersunting gadis yang dicintai, sungguh telah menghempaskan harga dirinya. Sabri sebagai lelaki dengan lingkungan suku yang mendagradasi nilai mahar dengan materi, merasa bahwa harga dirinya terinjak-injak dengan muslihatnya sendiri, hanya karena pernikahan yang katanya suci dan bahagian dari ibadah itu ternyata kalah oleh tradisi dengan mahar yang tinggi.
Permudahlah pernikahan dan persulitlah perceraian, itulah anjuran Nabi dalam haditsnya, yang hanya mensyaratkan seperangkat alat shalat sebagai mahar, yang harganya tidak lebih dari seratus ribu saat ini. Bahkan bisa dengan hanya sebentuk cincin dari besi ataupun sekedar hafalan Al Qur’an. Pernikahan adalah Ibadah dan pernikahan adalah menyempurnakan separuh agama, seolah dihempaskan jauh-jauh karena sebuah harga diri keluarga dan tradisi yang sedikit berbau komersil. Itu delapan tahun yang lalu, dan kini Sabri, Layla istrinya dan anak-anaknya telah bertumbuh sebagai keluarga yang sederhana. Sepuluh tahun waktu kreditnya, dua tahun lagi akan selesai. Ternyata sahabatku yang baik itu, belum melunasi cicilan pernikahannya. Kunikahi Engkau Dengan Mahar Muslihat – Andi Harianto